PERISTIWA TERJADINYA MALAM LAILATUL QODR TIDAK HANYA PADA BULAN RAMADHAN, BENARKAH ?

Bulam ramadhan adalah bulan yang penuh kemualiaan dan keagungan, peristiwa-peristiwa yang sangat besar kebanyakan pada bulan ramadhan. Seperti Turunnya Ayat Suci Al-Qur’an pertama kali pada bulan suci ramadhan, pahala yang dilipat gandakan, dibukakan pintu surga, tertutupnya pintu neraka, dan yang paling penting hasil dari penelitian para ulama’ terdahulu pada bulan suci ramadhan ada yang lebih istimewa karena peristiwa itu lebih baik dari pada seribu bulan yang dinamakan dengan malam lailatul Qodr. Yang mana peristiwa itu sangat diinginkan, diimpi-impikan bahkan di cita-citakan inginnya meraih malam lailatul qodr, karena banyak keberkahannya.

Nah, dari sekian banyak umat muslimin yang menginginkan untuk mendapatkan malam lailatul qodr itu, benarkah atau sudah menjadi kepastian kah terjadinya malam lailatul qodr pada bulan Ramadhan saja? Dari pertanyaan itu, artikel ini akan mengambil satu surat tentang peristiwa terjadinya malam lailatul qodr. Untuk menanggapi dari pertanyaan tersebut. Tapi, artikel ini akan membahas dari segi bahasanya dalam Al-Qur’an bukan secara tafsirannya.

Bahwa dalam Q.S Al-Qodr ayat 1-5 menjelaskan tentang turunnya pertama kali ayat suci Al-Qur’an pada malam lailatul qodr, dan definisi malam lailatul qodr. Sedangkan kata RAMADHAN dalam surat al-qodr tidak disebutkan. Kenapa hal demikian bisa terjadi? Jawabannya terjadi hal demikian, dan itu akan menjadi sebuah kemungkinan bahwa terjadinya lailatul qodr tidak hanya pada bulan ramadhan saja, akan tetapi bisa saja pada bulan-bulan yang lain. Kalai di lihat dari ayat 1 nya, yang artinya “sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an pada malam lailatul qodr.” Sedangkan terjadinya turun ayat Al-Qur’an ada dua tahap. Yang pertama secara langsung (dari Lauhil Mahfud ke Baitul Izza), yang kedua secara berangsur-angsur (dari langit/baitul izza ke bumi). Dalam kajian bahasa ayat 1 itu apakah turunnya itu secara langsung atau secara berangsur-angsur? (walaupun menurut tafsirannya turunnya Al-Qur’an yaitu secara langsung).

Jika dikatakan turunnya pertama kali ayat suci Al-Qur’an pada malam lailatul qodr secara langsung, itu akan menjadi sebuah kepastian bahwa terjadinya malam lailatul qodr akan berlangsung pada tanggal 17 Ramadhan, sedangkan hal tersebut tidak seperti itu karena pada tanggal 17 Ramadhan merupakan turun pertama kali ayat suci Al-Qur’an.

Berkenaan hal tersebut berarti akan menjadi sebuah kemungkinan bahwa terjadinya malam lailatul qodr tidak hanya pada bulan ramadhan. Buktinya turunnya Ayat suci Al-Qur’an yang secara berangsur-angsur tidak hanya pada bulan ramadhan akan tetapi pada bulan yang lainnya bahkan ayat terakhir pun turunnya pada bulan dzulhijjah.

Tapi kenapa para ulama’-ulama’ banyak yang meneliti dan menyebutkan terjadinya malam lailatul qodr itu pada bulan ramadhan bahkan lebih tepatnya pada tanggal-tanggal ganjil? Hal tersebut karena Bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan, kemuliaan, keagungam dan lain sebagainya. Maka, kebanyakan para ulama menyebutkannya pada bulan ramadhan.

Berkaitan dengan pendapat yang lain yang menyatakan terjadinya malam lailatul qodr tidak hanya pada bulan ramadhan saja tetapi bisa juga pada bulan-bulan yang lainnya, karena melihat kajian bahasa dalam surat Al-Qodr kalimat Ramadhan tidak disebutkan. Seperti pendapat Syeikh Ali At-Tanthawi beliau merupakan seorang ulama terkenal dari Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, dalam bukunya Menemukan Lailatul Qadar berpendapat, Lailatul Qadar tidak hanya terjadi pada bulan Ramadhan, tetapi juga bisa di bulan lain selain Ramadhan. Bahkan, ia bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, tak memandang ruang dan waktu.

Menurut Syekh Ali Al-Thanthawi, seseorang bisa saja mendapatkan Lailatul Qadar di saat orang tersebut sedang berada di kamar, di sebuah pub, karaoke, di jalan yang sepi, di jalan raya yang penuh pesona, atau bisa jadi di siang bolong (1993, 22-23). Syekh Ali Al-Thanthawi menyontohkan peristiwa yang dialami Khalifah Umar bin Khattab RA sesaat sebelum masuk Islam. Banyak orang yang membaca dan mendengarkan surah Thaha [20] dan tak terhitung jumlahnya. Namun, mereka tak mengalami hal apa pun.

Akan tetapi, ketika Umar bin Khattab mendapat kesempatan yang sekejap itu yakni saat ia mendengar adiknya membaca surah Thaha tersebut hati Umar bergetar. Umar meyakini bahwa ayat-ayat yang dibacakan adiknya itu bukanlah ayat yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW, melainkan oleh Tuhan Yang Maha Agung.

Berawal dari kejadian yang sesaat itu, akhirnya mampu mengubah pribadi dan kehidupan Umar bin Khattab. Umar yang dahulunya kasar pernah melakukan dosa besar karena membunuh dan mengubur anak kandungnya sendiri dan yang datang untuk membunuh Rasulullah SAW. kemudian berubah menjadi Umar yang genius, yang mampu memimpin sebelas negara seorang diri, menjadi hakim, pemimpin negara, dan menteri dalam negeri sekaligus badan pemeriksa keuangan (BPK). Sayyidina Umar telah sukses memimpin negara Islam di Madinah.

Selain kisah di atas, Syekh Ali Thanthawi juga memberikan contoh lainnya. Ketika seseorang sudah berputus asa dalam berusaha dan menuntut ilmu yang selalu gagal dan terus gagal. Suatu saat, ketika ia pergi ke hutan, hujan turun dengan lebatnya. Ia pun kemudian mencari tempat berteduh. Dan tanpa sengaja (sekejap), ia menyaksikan bagaimana bongkahan batu yang sangat keras dapat menjadi lunak dan berlubang karena tetesan air yang jatuh di atasnya.

Ia pun kemudian menjadi sadar bahwa suatu kegagalan pada akhirnya pasti akan menuai keberhasilan apabila dicoba terus-menerus tanpa kenal lelah. Seperti bongkahan batu tersebut yang memiliki sifat dasar keras dan kasar, ketika air yang lembut terus-menerus menetes di atasnya, batu itu pun akhirnya berlubang.

Menurut Syekh Ali Al-Thanthowi, dari waktu yang sekejap itulah sebuah hidayah datang dari Allah SWT. Ia menyebut dan menyerupakan hidayah Allah yang sesaat itu sebagai Lailatul Qadar karena mampu mengubah pribadi orang yang tersesat ke jalan lurus dan menjadikan pribadi yang kasar menjadi santun dan lembut.

Syekh Ali Thanthawi mengatakan, Lailatul Qadar adalah karunia Allah SWT, yang akan diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Tapi, hidayah Allah itu harus dicari. Seorang Muslim tidak boleh hanya berpangku tangan saja menanti hidayah itu.

Ada ungkapan bijak yang patut direnungkan. Seorang nelayan, jika ingin mendapat ikan, dia harus membentangkan jalanya terlebih dahulu. Penimba air harus menurunkan timbanya ke dalam sumur agar mendapatkan air. Pencari nafkah harus berusaha. Siapa yang ingin mendapatkan air, dia harus datang ke sumber air atau sungai, bukan pergi ke padang pasir atau tanah yang tandus.

Demikian pula siapa yang ingin mendapatkan lahdzat tajalli (kesempatan untuk bersama-sama Allah) dalam waktu Lailatul Qadar ini, ia harus mencarinya dengan jalan berteman dengan orang-orang saleh, mendengarkan penuturan mereka, serta mengikuti jejak dan langkah mereka. Di sinilah segala kenikmatan dunia menjadi tiada artinya ketika dapat berjumpa dengan Allah serta merasakan kenikmatan rohani dan jiwa yang sangat luar biasa. Kenikmatannya tak terbayangkan dan tak mungkin dapat digambarkan dalam kehidupan nyata.

Kenikmatan inilah yang membuat orang menjadi gila (zawq, dalam istilah sufi) karena kenikmatan seperti inilah yang diidamkan oleh setiap jiwa untuk kemudian mereguknya. Kenikmatan rohani inilah yang sempat membuat Ibnu Rumi mengadu merasa kehilangan. Padahal, pada saat itu, ia sedang menikmati kebahagiaan dengan sang kekasih.

Karena itu, kata Syekh Ali Thanthawi, Lailatul Qadar hendaknya senantiasa dicari pada setiap tempat dan waktu demi mendekatkan diri kepada Allah. Wallahu A’lam.

oleh: departemen kajian aksi dan strategi

Liputan Terkait