Like 1 Vidio vulgar = menyumbang 3 kasus pemerkosaan

Berita pelecehan seksual di lingkup pesantren diledak-ledakkan dalam lalu lintas media sosial. Justifikasi negatif secara brutal oleh masyarakat awam terhadap institusi pendidikan keagamaan menggila. Masyarakat semakin “alergi” untuk memasukkan anaknya ke lembaga pesantren. Padahal, setiap like yang kita lempar di konten-konten media sosial dapat mempengaruhi pola pikir orang lain di luar sana.
Kebutaan masyarakat modern untuk Melihat suatu persoalan secara Global-komprehensif secara tidakLangsung berakibat pada Kemerosotan intelektual negeri ini. Yo Piye Pengeran wis maringi ayat ora diamalke. "Afalaa tatafakkaruun" (dikei akal nopo ora dinggo?). Akibatnya konstelasi masyarakat semakin terpecah akibat ketololan-ketololan kita sendiri untuk melihat sebuah fenomena.
Jarang diperhatikan bahwa video-video yang kita like di media sosial itu mampu menggiring pola pikir masyarakat luas. Jika yang mendominasi hal-hal positif maka pola pikir masyarakat ikut terbawa positif. Sebaliknya, bila yang mendominasi adalah hal-hal negatif maka pola pikir masyarakat ikut tergiring negatif. Seperti itu sketsa algoritma media sosial kita hari ini yang memang sengaja dibuat seperti itu.
Sekarang kita lihat, mana yang lebih mendominasi antara konten negatif konten positif? Sedangkan dan konten secara manusiawi orang lebih suka pada hal-hal yang memuaskan syahwat mereka.
Kejemihan pikiran itulah yang harus kita jaga setiap waktu, setiap detik, setiap saat. Memasukkan nilai-nilai ketuhanan di setiap langkah. Membentengi diri dengan pola pikir yang positif, sehat, jernih. Apalagi kita hidup di tengah asap kebodohan yang terus-menerus dihirup saban hari.
Sepertinya memang langkah paling efektif untuk menanggulangi maraknya fenomena pelecehan seksual yaitu dengan meng-install mindset bahwa me-like 1 konten vulgar, artinya menyumbang 3 kasus pemerkosaan.
Mbuh opo iyo koyo ngunu kui, karena kita telat menyadari hal-hal semacam itu. Memang saya tidak melampirkan data pada tulisan sederhana ini, tetapi hal itu sangat mungkin terjadi, bila kita teropong sisi pola kerja algoritma media sosial.
Jadi kita vonis secara brutal pelaku pelecehan dan pemerkosaan, tetapi di sisi lain kita turut memberi like pada konten-konten vulgar. Bahkan tidak sekedar like, hanya menonton pun dapat menyumbang video itu menuju posisi trending. Dari sini dapat memantik syahwat orang lain di luar sana yang sedang “nyenyak” men-scroll video.
Begitu nanti tersiar kabar kasus pelecehan, kita langsung mengutuk para pelaku tanpa bercermin apa yang pernah kita lakukan di media-media online itu. Ini semacam paradoks sekaligus ketotolan manusia yang jarang sekali disadari ketika aktifitas bermedia sosial berlangsung.

oleh: Divisi Kastrat HMPS PBA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Liputan Terkait